aco pa
aco pa

Website Resmi Pengadilan Agama Sragen

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Pengadilan Agama Sragen

Selamat datang di situs resmi Pengadilan Agama Sragen (ꦱꦿꦒꦺꦤ꧀) . Website ini dibuat sebagai sarana untuk memberikan beragam informasi khususnya yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
Pengadilan Agama Sragen

Pendaftaran online

Pendaftaran online non advokat

untuk menekan penyebaran Virus Covid 19, maka bagi masyarakat yang akan mendaftarkan perkaranya di Pengadilan Agama Sragen bisa menggunakan fasilitas Pendaftaran Online tanpa harus datang langsung ke Kantor Pengadilan Agama Sragen.
Pendaftaran online non advokat

Akuntable, Solid, Responsif, Inovatif

ZONA INTEGRITAS

Predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang mana pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK & WBBM) melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
ZONA INTEGRITAS

Lawan Kecurangan, Junjung Persatuan!

STOP GRATIFIKASI

Apabila anda melihat, mendengar atau mengalami kejadian yang menunjukkan indikasi penyalahgunaan dan penyimpangan wewenang, atau pelanggaran yang dilakukan oleh aparat Pengadilan Agama Sragen. Ajukan laporan pengaduan anda secara tertulis melalui meja informasi/pengaduan pada Pimpinan Pengadilan Agama Sragen pada hari dan jam kerja.
STOP GRATIFIKASI

Laporkan saja pada aplikasi ini! Identitas bersifat rahasia

SIWAS

Aplikasi yang disediakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, untuk melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau Peradilan dibawahnya.
SIWAS

DAFTAR DAN SIDANG SECARA ONLINE?

E-court

Sebuah instrumen Pengadilan sebagai bentuk terobosan baru pelayanan terhadap masyarakat dalam hal pendaftaran perkara secara online, pembayaran secara online, mengirim dokumen persidangan (jawaban, replik, duplik dan kesimpulan) dan pemanggilan secara online.
E-court

POSBAKUM

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum
POSBAKUM

Cek Putusan Sidang? Cek Jadwal Sidang, Klik Saja!

Aplikasi SIPP

Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.
Aplikasi SIPP

Tutorial Penyelesaian Gugatan Ekonomi Syariah

Video yang berisi tentang cara penyelesaian perkara ekonomi syariah dengan acara yang sederhana
Tutorial Penyelesaian Gugatan Ekonomi Syariah
Selamat Datang Di Portal Resmi Pengadilan Agama Sragen Kelas 1A ::: PA SRAGEN ---ASRI--- :: Akuntabel :: Solid :: Responsif :: Inovatif :: Anda Memasuki Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi menuju Wilayah Birokrasi Bersih Melayani ::

program prioritas 2025 new

jadwal sidang

sipp

biaya perkara

Siwas

 

e court

 

 

 
 

REAKTUALISASI HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DALAM SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

REAKTUALISASI HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

DALAM SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

Oleh:

Dr. M. Nur Hasan Latief, S.H.

Panitera Pengganti Pengadilan Agama Sragen

ABSTRAK

Eksistensi lembaga keuangan khususnya sektor perbankan berkembang begitu pesat, hal ini juga kemudian berimplikasi pada sengketa perbankan syariah yang dari waktu ke waktu semakin bertambah. Peradilan Agama sebagai salah satu institusi hukum yang menyelesaikan sengketa perbankan syariah memiliki peran yang signifikan dalam menangani sengketa perbankan syaraiah. Hukum acara yang dipakai oleh Peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah juga diharapkan sesuai dengan ketentuan ketentuan yang ada dalam Hukum Islam

  1. A.

           Dewasa ini, perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah tumbuh dengan pesat di Indonesia. Menurut data Bank Indonesia, jumlah nasabah perbankan syariah lebih dari 2 juta orang, sedangkan jumlah nasabah pembiayaan sekitar 300.000an orang.[1] Data itu belum termasuk nasabah asuransi, pegadaian, pasar modal dan dana pensiun syariah. Juga belum termasuk nasabah Baitul Mal wat Tamwil yang mencapai dari 3 juta orang. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi syariah.

            Selama ini jika terjadi perselisihan antara para pihak, diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan ke Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 3 tahun 2006, perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Sebelumnya Peradilan Agama hanya menangani perkara tertentu saja seperti bidang: Perkawinan, Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah.[2]

            Kemudian dengan munculnya UU No 3 tahun 2006 Peradilan Agama memiliki kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: Bank syariah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, Asuransi syari’ah, Reasurasi syari’ah, Reksadana syari’ah, Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, Sekuritas syariah, Pembiayaan syari’ah, Pegadaian syari’ah, Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan Bisnis syari’ah.

  1. B.PEMBAHASAN
    1. 1)Konsep Dasar Hukum Acara Perdata

     Fungsi hukum Acara Perdata dalam menegakkan hukum materiil sangat menentukan. Hukum Perdata Materiil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan dari hukum Acara Perdata ini. Hukum Acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan caranya bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[3]

      Berangkat dari uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Acara dapat berjalan sebagaimana mestinya.

  1. 2)Sumber Hukum Materiil Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah

       Seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara, harus mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut[4]. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan[5] Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :

a.   Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.

Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349 KUHPerdata.

                   b.  Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah

Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :

  1. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
  2. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
  3. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
  4. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
  5. PBI No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
  6. PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat   Berdasarkan Prinsip Syariah
  7. SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
  8. Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.  

c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah

Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :

  1. Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama (longa et invetarata consuetindo).
  2. Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates);  
  3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar[6]

Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.

d. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah

       Fatwa-fatwa DSN yang dapat dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih lebih terhadap pihak lain[7]. Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.

e.  Yurisprudensi

       Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.

f.   Doktrin

     Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adalah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.

  1. 3)Hukum Formil Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah:

Hukum formil yang bisa digunakan oleh hakim untuk menangani sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama diantaranya:

  1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)

Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht

  1. Inlandsh Reglement (IR)

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura.

  1. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg).

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

  1. Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW).

BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.

  1. Wetboek van Koophandel (WvK)

WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.

  1. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg

  1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.

Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.

  1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5   Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung .
  2. Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
  3. Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.
  4. Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.

  1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI. (SEMA)

SEMA sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim.Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.

  1. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari doktrin atau ilmu pengetahuan ini. Doktrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.

Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:

  1. a.Al-Bajuri;
  2. b.Fatkhul Mu’in;
  3. c. Syarqawi ‘At-Tahrir’;
  4. d.Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;
  5. e.Fatkhul wahbahdan syarahnya;
  6. f.Tuhfah;
  7. g.Targhib al-Mustaq;
  8. h.Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;
  9. i.Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;
  10. j.Syamsuri li Fara’id;
  11. k.Bughyat al-Musytarsyin;
  12. l.al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah;
  13. m.Mughni al-Muhjaj.

Dengan merujuk kepada 13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama khususnya sengketa perbankan syariah

  1. 4)Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama

     Prinsip-prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.

Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materil islam. Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.

Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian perkara perbankan syariah diawali dengan Proses Mediasi (perdamaian), Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2), maka hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan:

  1. Pembacaan surat gugatan penggugat,
  2. Lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat,
  3. Kemudian replik penggugat,
  4. dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
  5. lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya,
  6. lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
  7. Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut.
  8. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.

Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000[8], namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih kontroversial.

Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba[9] yang secara qat’i dilarang syara,, sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah[10]. Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya

Dasar larangan riba adalah Firman Allah Swt, yang berbunyi:

يَأَيُهَا الذِيْنَ أمَنُوْا لاتَأْكاُوْا اَمْوَالَكمُ ْبَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ                              

“Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil”[11]

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya.

  1. C.KESIMPULAN

       Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilingkungan Peradilan Agama pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Namun disini yang perlu diperhatikan juga oleh Hakim dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah jangan sampai memberikan suatu putusan yang kemudian malah bertentangan dengan syariat islam itu sendiri. Dengan demikian maka hakim harus lebih cermat dalam menerapkan hukum acara dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafi’I, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta: BI & Tazkia Institute, 1999).

http//www. Peradilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syari’ah, oleh Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics.

Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah .(Yogyakarta: Politea Press, 2008).

Maksun, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum, 2000.

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Yogyakarta, 1999).

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999).

Taufik,   Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, (Yogyakarta: LKis, 2007).

  

UU RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2006)

 


[1]http//www. Peradilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syari’ah, oleh Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics .

[2] UU RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pasal 49,(Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2006), hal. 28

 [3]Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005) , hal.1

[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal 167.

[5] Taufik, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, (Yogyakarta: LKis, 2007), Hal. 95.

[6] Sudikno Mertokusumo , Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999) , Hal. 99.

[7] Maksun, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum, 2000, hal 4

[8] Fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Dalam fatwa ini antara lain dinyatakan bahwa dibolehkan menjatuhkan sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap nasabah mampu  yang menunda-nunda pembayaran, besarnya uang denda tersebut ditentukan atas dasar kesepakatan yang dibuat saat akad ditandatangani. Sanksi tersebut didasarkan prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

[9]Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Lihat M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta: BI & Tazkia Institute, 1999), hal. 59.

[10]Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah., (Yogyakarta: Politea Press, 2008) Hal. 6.

[11]QS. An-Nisa:29.


LOKASI KANTOR

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Sragen

foto pa kasongan

Jalan dr. Soetomo No. 3A, Kelurahan Sine Kecamatan Sragen, Provinsi Jawa Tengah Kode pos 57213

Telp : (0271)891080

Fax : (0271)891880

Email : pa.sragen@gmail.com

Tabayun : tabayun@pa-sragen.go.id

Website : www.pa-sragen.go.id

© 2024 Pengadilan Agama Sragen Kelas 1A Designed by IT Pengadilan Agama Sragen